Rabu, 27 April 2016

Terapi Kelompok (Group Therapy)


    Terapi Kelompok (Group Therapy)

1.       Konsep Terapi Kelompok

Kelompok adalah kumpulan individu yang mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya, saling ketergantungan serta mempunyai norma yang sama. Kelompok terapeutik memberi kesempatan untuk saling bertukar (sharing) tujuan, misalnya membantu individu yang berperilaku destruktif dalam berhubungan dengan orang lain, mengidentifikasi dan memberikan alternatif untuk membantu merubah perilaku destruktif menjadi konstruktif.
Menurut Yosep (2007), terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih. Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal.
Terapi kelompok mirip dengan masalah-masalah yang ditangani oleh terapi individu seperti konseling. Yang membedakan dengan terapi individu adalah pendekatannya. Terapi kelompok tidak menggunakan pendekatan yang bersifat perseorangan, melainkan menggunakan kelompok sebagai media penyembuhan. Individu-individu yang mengalami masalah sejenis disatukan dalam kelompok penyembuhan dan kemudian dilakukan terapi dengan dibimbing atau didampingi oleh terapis. Oleh karena itu perlu diperhatikan mengenai komponen kelompok dalam terapi kelompok. Dalam Sari (2015) menyebutkan komponen tersebut antara lain:

a.       Struktur kelompok
Stuktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam elompok diatur dengan adanya pimpinan dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.

b.      Besar kelompok
Menurut Wartono (dalam Yosep, 2007), jumlah ideal anggota kelompok adalah tujuh sampai delapan orang. Jumlah minimum angota kelompok berkisar empat dan jumlah maksimun adalah sepuluh orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidka semua anggota kelompok memndapatkan kesempatan mengungkapkan perasaan, mengemukakan pendapat dan pengalamannya. Jika terlalu kecil makan tidak cukup variasi informasi dan intreaksi yang terjadi.

c.       Lamanya sesi
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit untuk fungsi terapi reandah, dan 60-120 menit untuk fungsi kelompok yang tinggi. Frekuensi pertemuan dapat disesuaian dengan tujuan kelompok, dapat satu kali atau dua kali per minggu atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan.
 
d.      Komunikasi
Salah satu tugas pemimpin kelompok yang terpenting adalah mengobservasi dan mengalisis pola komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan umpan balik untuk memberikan kesadaran pada anggota kelompok terhadap dinamika yang trejadi. Pemimpin kelompok dapat mengkaji hambatan dalam kelompok, konflik interpersonal, tingkat kompetis, dan seberapa jauh anggota kelompok mengerti serta melaksanakan kegiatan.

e.       Peran kelompok
Pemimpin (leader) harus memiliki kemammpuan dalam proses yang terjadi pada kelompok, seperti adanya interupsi, peningkatan intonasi suara, sikap menghakimi antara anggota kelompok selama interaksi berlangsung. Dengan kata lian, pemimpin harus peka terhadap adanya konflik yang mungkin terjadi di dalam kelompok.

f.       Kekuatan kelompok
Kekeuatan kelompok adalah kemampuan anggota dalam memmpengaruhi jalannya kegiatan kelompok. Untuk menetapkan kekuatan kelompok yang bervariasi diperlukan kajian siapa yang paling banyak mendengar siapa yang membuat keputusan dalam kelompok.

g.      Norma
Norma adalah standar perilaku dalam kelompok. Pengharapan terhadap perilaku kelompok pada masa yang akan datang berdasarkan pada pengalaman masa lalu dan saat ini. Pemahaman tentang norma berguna untuk mngetahui pengaruhnya terhadap komunikasi dan interaksi dalam kelompok.

h.      Kekohesifan
Kekohesifan adalah kekuatan antar anggota kelompok bekerjasama dalam mencapai tujuan. Hal ini mempengaruhi naggota kelompok untuk tertarik dan puas terhadap kelompoknya. Terapis perlu melakuakn upaya agar kekohesifan kelompok dapat terwujud, selain mengelompokan anggota yang memiliki masalah yang sama. Terapis juga menciptakan kekohesifan dengan cara mendorong kelompok untuk berbicara satu sama lain. Kekohesifan dapat diukur melalui seberapa sering antar anggota memberi pujian dan mengungkapkan kekaguman satu sama lain. 

2.        Tujuan Terapi Kelompok
a.       Mengembangkan stimulasi kognitif
§  Tipe: biblioterapy
§  Aktivitas: menggunakan artikel, sajak, puisi, buku, surat kabar untuk merangsang dan mengembangkan hubungan dengan orang lain.

b.      Mengembangkan stimulasi sensori

§  Tipe: music, seni, menari.
§  Aktivitas: menyediakan kegiatan, mengekspresikan perasaan.
§  Tipe: relaksasi
§  Aktivitas: belajar teknik relaksasi dengan cara napas dalam, relaksasi otot, dan imajinasi.

c.       Mengembangkan orientasi realitas
§  Tipe: kelompok orientasi realitas, kelompok validasi.
§  Aktivitas: focus pada orientasi waktu,tempat dan orang, benar, salah bantu memenuhi kebutuhan.

d.      Mengembangkan sosialisasi
§  Tipe: kelompok remitivasi
§  Aktivitas: mengorientasikan klien yang menarik diri, regresi
§  Tipe: kelompok mengingatkan
§  Aktivitas: focus pada mengingatkan untuk menetapkan arti positif. 

Secara umum tujuan terapi kelompok adalah :
a.       Setiap anggota kelompok dapat bertukar pengalaman.
b.      Memberikan pengalaman dan penjelasan pada anggota lain.
c.       Merupakan proses menerima umpan balik 

3.        Peran Terapis dalam Terapi Kelompok
Peran terapis dalam pelaksanaan terapi kelompok adalah :
a.       Mempersiapkan program terapi
Sebelum melaksanakan terapi aktivitas kelompok, perawat harus terlebih dahulu, membuat proposal. Proposal tersebut akan dijadikan panduan dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok, komponen yang dapat disusun meliputi : deskripsi, karakteristik klien, masalah psikologis, tujuan dan landasan teori, persiapan alat, jumlah terapis, waktu pelaksanaan, kondisi ruangan serta uraian tugas terapis.

b.      Sebagai leader dan co-leader
Meliputi tugas menganalisa dan mengobservasi pola-pola komunikasi yang terjadi dalam kelompok, membantu anggota kelompok untuk menyadari dinamisnya kelompok, menjadi motivator, membantu kelompok menetapkan tujuan dan membuat peraturan serta mengarahkan dan memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok.

c.       Sebagai fasilitator
Sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok sebagai anggota kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada anggota kelompok lain agar dapat mengikuti jalannya kegiatan.

d.      Sebagai observer
Tugas seorang observer meliputi : mencatat serta mengamati respon penderita, mengamati jalannya proses terapi aktivitas dan menangani peserta/anggota kelompok yang drop out.

e.       Mengatasi masalah yang timbul saat terapi
Masalah yang mungkin timbul adalah kemungkinan timbulnya sub kelompok, kurangnya keterbukaan, resistensi baik individu atau kelompok dan adanya anggota kelompok yang drop out. Cara mengatasi masalah tersebut tergantung pada jenis kelompok terapis, kontrak dan kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas tersebut.

f.       Program antisipasi masalah
Merupakan intervensi psikologis yang dilakukan untuk mengantisipasi keadaan yang bersifat darurat (emergensi dalam terapi) yang dapat mempengaruhi proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.
Dari rangkaian tugas diatas, peranan ahli terapi utamanya adalah sebagai fasilitator. Idealnya anggota kelompok sendiri adalah sumber primer penyembuhan dan perubahan.

4.        Teknik Terapi Kelompok
Ada beberapa bentuk khusus terapi kelompok, antara lain :
a.       Psikodrama
Psikodrama merupakan suatu bentuk terapi kelompok, yang dikembangkan oleh J.L. Moreno pada tahun 1946, dimana pasien didorong untuk memainkan suatu peran emosional di depan para penonton tanpa dia sendiri dilatih sebelumnya. Tujuan dari psikodrama ini adalah membantu seorang pasien atau kelompok pasien untuk mengatasi masalah-masalah pribadi dengan menggunakan permainan drama, peran, atau terapi tindakan. Lewat cara-cara ini pasien dibantu untuk mengungkapkan perasaan-perasaan tentang konflik, kemarahan, agresi, perasaan bersalah, dan kesedihan. Sama dengan Freud, Moreno melihat emosi-emosi yang terpendam dapat dibongkar (kompleks-kompleks emosional dihilangkan dengan membawanya ke kesadaran, dan membuat energi emosional diungkapkan/katarsis).
Metode psikodrama yang sangat Penting. Seperti yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh Moreno, psikodrama menggunakan tempat yang menyerupai panggung. Hal ini bertujuan supaya pasien memainkan peran di alam khayal, dengan demikian ia merasa bebas mengungkapkan sikap-sikap yang terpendam dan motivasi-motivasi yang kuat. Ketika peran dimainkan, implikasi-implikasi realistic dan tingkah lakunya yang dramatis menjadi jelas. Keterampilan terampis dalam mengenal dan menafsirkan dinamika yang diungkapkan memudahkan proses terapi. Ada tiga tahap yang penting dalam psikodrama:

1)      Tahap pelaksanaan, dimana subjek memerankan khayalan-khayalannya.
2)      Tahap penggantian, dimana orang-orang yang sebenarnya menggantikan orang-orang yang dikhayalkan subjek.
3)      Tahap penjernihan, dimana diadakan pengalihan dari kontak individu-individu pengganti ke kontak dengan individu-individu di mana subjek memiliki kesempatan menyesuaikan diri dengan mereka dalam kehidupan yang nyata.
Sebaliknya, Whittaker memberikan suatu gambaran singkat tentang bagaimana sebaiknya psikodrama itu dilaksanakan. Dia mengemukakan bahwa psikodrama menggunakan 4 instrument utama, yaitu:
1)      Panggung, yang merupakan ruang kehidupan psikologis dan fisik bagi subjek atau pasien.
2)      Sutradara atau pekerja.
3)      Staf dari ego-ego penolong (auxiliary ego) atau penolong-penolong teraupetik.
4)      Para penonton.
Ego-ego penolong maupun para penonton terdiri dari anggota-anggota kelompok lain. Strateginya adalah memberi kemungkinan kepada subjek untuk memproyeksikan dirinya kedalam dunianya sendiri dan membangkitkan respon-respon dari kawan-kawan anggota kelompoknya sendiri. Selanjutnya, Whittaker mengemukakan 4 teknik yang bisa digunakan, yaitu:
1)      Presentasi diri. Pasien mempresentasikan dirinya sendiri atau seorang figur yang penting dalam kehidupannya.
2)      Memimpin percakapan sendiri. Pasien melangkah keluar dari drama dan berbicara pada dirinya sendiri dan kepada kelompoknya.
3)      Teknik ganda. Seorangg ego penolong berperan bersama dengan pasien dan melakukan segala sesuatu yang dilakukan pasien pada waktu yang sama.
4)      Teknik cermin. Seorang ego penolong berperan sejelas mungkin menggantikan pasien. Dari para penonton, pasien memperhatikan bagaimana dia melihat dirinya sendiri sebagaimana orang-orang lain melihatnya.
Sutradara atau pekerja berfungi baik sebagai produser maupun sebagai terapis. Sebagai produser, ia memilih dan mengatur adegan-adegan yang juga memimpin tindakan (perbuatan) psikodramatis. Adegan-adegan dipilih berdasarkan situasi-situasi yang mengandung muatan emosional bagi pasien atau berdasarkan situasi-situasi dimana pasien bertingkahlaku tidak tepat atau tidak efektif dalam situasi-situasi seperti itu. Sebagai terapi, pekerja (sutradara) memberikan dukungan atau klarifikasi kepada para actor, dan kadang-kadang memberikan penafsiran (sering dengan bantuan para anggota kelompok lain) tentang adegan permainan itu.
Belakangan ini psikodrama dilakukan oleh orang-orang yang mempraktekkan bermacam-macam teori psikoterapi. Khususnya, para terapis Gestalt menggunakan psikodrama secara luas. Psikodrama juga digunakan dalam terapi perkawinan, dalam terapi anak-anak, penyalahgunana-penyalahgunaan obat bius dan alcohol, orang-orang yang mengalami masalah-masalah emosional, di lingkungan penjara, untuk melatih para psikiater dirumah sakit, untuk melatih orang-orang yang cacat, di perusahaan dan industri, dan dalam pendidikan serta dalam mengambil keputusan.
Kegunaan psikodrama adalah dengan mendramatisir konflik-konflik batinnya, pasien dapat merasa sedikit lega dan dapat mengembangkan pemahaman (insight) baru yang memberinya kesanggupan untuk mengubah perannya dalam kehidupan yang nyata.

b.      Role playing (bermain peran)
Memainkan peran adalah suatu variasi dari psikodrama yang tidak menggunakan alat-alat sandiwara (drama). Taknik ini banyak digunakan untuk mendorong pasien berbicara dan mengembangkan persepsi-persepsi baru dalam berbagai situasi kelompok, misalnya diruang kelas, program-program hubungan manusia dalam bidang usaha dan industri, dan pertemuan-pertemuan latihan (training) 

c.       Encounter groups
Encounter groups adalah bentuk-bentuk khusus dari terapi kelompok yang muncul dari gerakan humanistik pada tahun 1960-an. Encounter groups bertujuan untuk membantu mengembangkan kesadaran diri dengan berfokus pada bagaimana para anggota kelompok berhubungan satu sama lainalam suatu situasi diaman di dorong untuk mengungkapkan perasaan secara terus terang. Encounter groups tidak berlaku bagi orang yang mengalami masalah-masalah psikologis yang berat, tetapi hanya ditujukan kepada orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, berusaha memajukan pertumbuhan pribadi, meningkatkan kesadaran mengenai kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan mereka sendiri serta cara-cara mereka berhubungan dengan orang lain.
Encounter groups berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini melalui pertemuan-pertemuan yang intensif atau konfrontasi-konfrontasi langsung dengan orang-orang baru. Beberapa kelompok dibentuk sebagai kelompok-kelompok marathon yang mungkin berlangsung terus-menerus selama 12 jam atau lebih. Karena bertolak dari pendekatan humanistik, encounter groups, menekankan interaksi-interaksi yang terjadi ditempat ini dan kini.
Fokus dari encounter groups adalah mengungkapkan perasaan-perasaan yang asli dan bukan menafsirkan atau membicarakan masa lampau. Apabila seorang anggota kelompok dipersepsikan oleh orang lain bersembunyi di belakang kedok atau topeng sosial, maka orang lain berusaha sedemikian rupa supaya orang tersebut membuka kedok itu, dan dengan demikian mendorong orang itu untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya yang sebenarnya.
Teknik konfrontasi ini dapat merusak bila para anggota kelompok memaksa mengungkapkan dengan terlalu cepat perasaan-perasaan pribadi orang itu yang belum mampu ditanganinya atau bila orang itu merasa diserang atau dikambinghitamkan oleh orang lain dalam kelompok. Para pemimpin kelompok yang bertanggungjawab tetap berusaha mengendalikan kelompok itu untuk mencegah penyalahgunaan tersebut dan mempertahankan kelompok itu bergerak kearah yang memudahkan pertumbuhan pribadi dan kesadaran diri.
 
 
KESIMPULAN
Makalah ini membahas mengenai dua jenis terapi psikologis, yaitu terapi perilaku dan terapi kelompok. Terapi yang pertama adalah terapi perilaku (behavioral therapy). Terapi perilaku adalah pendekatan untuk psikoterapi yang didasari oleh teori belajar yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi seperti; depression, anxiety disorders, phobias, dengan memakai tehnik yang didesain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Terapi perilaku pertama kali ditemukan pada tahun 1953 dalam proyek penelitian oleh BF Skinner, Ogden Lindsley, dan Harry C. Salomo.
Menurut Latipun (2001) tujuan terapi perilaku adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku somatik, yaitu kegidupan tanpa mengalami kesulitan atau ha,batan perilaku yang dapat membuat ketidakpuasan dalam hangka panjang, atau mengalami konflik dengan lingkungan sosial.
Selanjutnya, peran terapis dalam terapi perilaku adalah memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, terlibat dalam pemberian penguatan-penguatan sosial penguat bagi tingkah laku klien, dan model bagi klien.
Terdapat beberapa teknik terapi perilaku yang biasa dilakukan dalam terapi perilaku antara lain, operant conditioning, desensitisasi, flooding, implosive therapy, participant modeling (percontohan), teknik aversi, teknik relaksasi dan desentisisasi sistematis, self-control, eye movement desensitisasi and  reprocessing (EMDR), dan terapi kognitif-behavioral (TKB).
Terapi yang kedua adalah terapi kelompok (group therapy). Kelompok adalah kumpulan individu yang mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya, saling ketergantungan serta mempunyai norma yang sama. Kelompok terapeutik memberi kesempatan untuk saling bertukar (sharing) tujuan, misalnya membantu individu yang berperilaku destruktif dalam berhubungan dengan orang lain, mengidentifikasi dan memberikan alternatif untuk membantu merubah perilaku destruktif menjadi konstruktif.
Secara umum tujuan terapi kelompok antara lain, setiap anggota kelompok dapat bertukar pengalaman, memberikan pengalaman dan penjelasan pada anggota lain, dan merupakan proses menerima umpan balik.
Ketika melakukan terapi ini, peran terapis dalam pelaksanaan terapi kelompok adalah mempersiapkan program terapi, sebagai leader dan co-leader, sebagai fasilitator, sebagai observer, mengatasi masalah yang timbul saat terapi, dan program antisipasi masalah. Dari rangkaian tugas yang disebutkan, peranan ahli terapi utamanya adalah sebagai fasilitator. Idealnya anggota kelompok sendiri adalah sumber primer penyembuhan dan perubahan. Kemudian ada beberapa bentuk khusus terapi kelompok antara lain, psikodrama, role playing (bermain peran), dan encounter groups.
Dengan adanya terapi-terapi tersebut, diharapkan klien dapat keluar dari masalah atau gangguan yang dideritanya, serta dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Cahyono, A. (2015). Makalah terapi behavior. Diperoleh dari: http://ilmuhackers.blogspot.co.id/2015/04/makalah-terapi-behavior.html (diakses pada 24 April 2016)
Corey, G. (2009). Konseling dan psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Henrikus. (2011. Psikoterapi terapi perilaku (behaviour therapy). Diperoleh dari: https://id-id.facebook.com/notes/henrikus-yo/psikoterapi-terapi-perilaku-behaviour-therapy/10150208701516934/ (diakses pada tanggal 24 Maret 2016)
Jena, SPK. 2008. Behaviour therapy techniques, research, and aplications. New Delhi: SAGE Publications India Pvt Ltd.
Latipun. (2001). Psikologi konseling. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.
Purwaningsih, W., & Karlina I. (2010). Asuhan keperawatan jiwa. Jogjakarta: Nuha Medika.
Rasyid, J. (2011). Psikologi klinis. Diperoleh dari: http://julyarasyid.blogspot.co.id/2011/04/psikologi klinis.html (diakses pada tanggal 24 April 2016)
Sari, L. T. (2015). Terapi kelompok terhadap perubahan sikap perlindungan diri dari IMS dana perilaku seksual pekerja seks komersial jalanan usia 15-18 tahun di Denpasar Bali. Tesis. (diakses pada tanggal 25 April 2016)
Umar, F. (2014). Behavioral konseling. Diperoleh dari: http://konselingkedamaianhati.blogspot.co.id/2014/12/behavioral konseling_17.html (diakses pada tanggal 24 April 2016)
Yosep, I. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar